Menurut bahasa kata "mu’jizah"
berasal dari kata "'ajz" (lemah), kebalikan dari kata "qudrah"
(kuasa). Pada dasarnya Mu’jiz itu adalah Allah SWT., yang
menyebabkan selain-Nya lemah. Pemberi kekuasaan kepada selain-Nya juga adalah
Zat Allah SWT., karena Dia sebagai Penguasa mereka. Sebagai bentuk mubalaghah
(penegasan) kebenaran berita, mengenai betapa lemahnya orang-orang yang
didatangi Rasul untuk menentang mu’jiz tersebut, maka huruf
"ta" marbuthah ditambahkan kepada kata "mu’'jiz" sehingga
menjadi "mu’jizah ". Bentuk mubalaghah ini juga
terjadi, misalnya pada kata, "'allamah", "nassabah", dan
"rawiyah".
Menurut para Mutakallimln (teolog),
mukjizat ialah munculnya sesuatu hal yang berbeda dengan adat kebiasaan yang
terjadi di dunia (dar al-taklif) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah)
para Nabi.
Al-Thusi mendefinisikan mukjizat
dengan terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi, atau terjadinya sesuatu
yang menggugurkan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai dengan perombakan
terhadap adat kehiasaan, dan hal itu sesuai dengan tuntutan,
AI-Quran ialah mukjizat abadi Nabi
Muhammad saw., yang dengannya seluruh manusia dan jin ditantang untuk membuat
yang serupa dengan Al-Quran tersebut, sebuah atau sepuluh surat yang sama
dengan surat yang ada di dalamnya. Para ahli balaghah dan para ahli
bahasa Arab di antara mereka ternyata tidak mampu membuat sebuah surat pun yang
serupa dengan surat yang ada di dalam Al-Quran sehingga akhirnya mereka
menggunakan kekuatan dengan berupaya memerangi Rasulullah, menawarkan jabatan
dan harta kepada beliau, bukan membuat sehuah surat yang serupa dengan
AI-Quran. Allah SWT. di dalam Kitab-Nya menjelaskan bahwa AI-Quran merupakan
mukjizat:
Dan orang-orang kafir Makkah mengatakan: “Mengapa
kepadanya tidak diturunkan mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah:
"Sesungguhnya mukjizat-mukjizat tersebut terserah kepada Allah. Dan
sesungguhnya (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan yang
nyata."Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa kami telah menurunkan
kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) dan ia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di
dalam Al-Quran itu terdapat rahmat yang besar dan peringatan bagi orang-orang
yang beriman. (Al-Ankabut: 50-51)
Dengan penjelasan ini, Allah SWT.
menegaskan bahwa Al-Quran merupakan ayat yang terang dan mukjizat yang cukup
bagi manusia.
Jumhur kaum Muslimin berpendapat
bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat (mu ’jiz bi dzatih).
Maksudnya, bahwa AlQuran dengan seluruh yang ada di dalamnya, termasuk
struktur kalimat; balaghah, bayan (penjelasan), perundang-undangan (tasyri'),
berita-berita gaib dan seluruh persoalan lain yang merupakan mukjizat, telah
menyebabkan seluruh manusia tidak mampu membuat yang serupa dengannya.
Abu Ishaq Ibrahim Al-Nidzam, seorang
Mu'tazilah, dan Al-Syarif Al-Murtadha, seorang Syi'ah Ja'fari berpendapat
bahwa Al-Quran itu mu’jiz bi al-sharfah. Yang dimaksud dengan sharfah
adalah bahwa Allah SWT. memalingkan hamba-hamba-Nya dengan menarik kehendak
mereka, dan dengan mengelukan lidah-lidah mereka untuk membuat yang serupa
dengan Al-Quran.
Sebenarnya, Al-Quran merupakan
mukjizat (mu’jiz bi dzatih), adalah disebabkan ketinggian balaghah,
struktur bahasa, bayan, dan perundang-undangan (tasyri')-nya yang adil
dan relevan bagi manusia, potensi-potensinya, tujuan penciptaannya yang
harmonis dengan hukum alam yang umum, dan juga berita-berita gaibnya yang
manusia tidak akan mampu memberitakan hal demikian. Al-Baqilani mengatakan:
"Seandainya Al-Quran bukan merupakan mukjizat berdasarkan yang telah kami
sifatkan dari segi struktur bahasanya yang mumtani' (tidak mungkin
tertandingi), maka kendatipun Al-Quran disusun dengan struktur bahasa yang
sangat tinggi dan dengan kefasihan yang sangat tinggi pula, tentu
kemukjizatannya akan lebih hebat lagi seandainya mereka dipalingkan untuk
membuat yang serupa dengannya, seandainya mereka dicegah untuk menentangnya,
serta seandainya anggapan-anggapan mereka dibelokkan dari padanya. Tentu pula
hal itu menunjukkan tidak perlunya AI-Quran diturunkan dengan struktur bahasa
yang indah, fasih dan menakjubkan. Sebab, seandainya mereka dipalingkan dari
anggapan-anggapannya, niscaya orang-orang jahiliah sebelum mereka tidak perlu
dipalingkan dari kefasihan, balaghah, keindahan struktur bahasa dan keajaiban
susunannya, karena mereka tidak ditantang oleh Al-Quran untuk melakukan yang
serupa, di samping hujjah-nya pun tidak selayaknya diungkapkan mereka.
Oleh karena itu, tidak pernah dijumpai pembicaraan seperti itu sebelumnya. Hal
itu merupakan bukti bahwa apa yang diklaim oleh seseorang yang meyakini adanya
sharfah, merupakan suatu kebatilan yang nyata, yang akan membatalkan pendapat
mereka mengenai adanya sharfah tersebut. Seandainya penentangan itu mungkin,
maka kalam bukan merupakan mukjizat. Mukjizatnya justru pada pelarangan,
sehingga kalam itu sendiri tidak lebih istimewa dari yang lain. Maka tidak
mengherankan apabila dikatakan: ‘Sesungguhnya semua orang akan mampu membuat
yang serupa dengan Al-Quran, hanya saja mereka terlambat karena mereka tidak
mengetahui bentuk susunan (seperti AI-Quran - penj.), seandainya mereka telah
mengetahuinya, pasti mereka akan mampu melakukannya'."
Al-Khithabi menolak pendapat bahwa
Al-Quran merupakan mukjizat bi al-sharfah. Beliau mengatakan: "Al-sharfah,
merupakan hal yang tidak begitu berbeda dengan i’jaz. Hanya saja, petunjuk ayat
membuktikan sebaliknya, yaitu firman Allah SWT.:
Katakanlah: "Seandainya manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu
membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain. " (Al-Isra: 88)
Dalam hal demikian, ia menunjuk
kepada persoalan yang caranya bersifat takalluf (dibuat-buat) dan
diupayakan, dengan cara yang matang dan dilakukan bersama-sama. Dan yang
dimaksud dengan al-sharfah seperti yang telah mereka sifatkan tidaklah
sejalan dengan sifat ini sehingga hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah sifat yang lain. Wallahu a'lam."
Muhammad bin Amru Al-Razi, dalam
tafsimya Al-Kabir, menegaskan bahwa kedua pendapat tersebut - pendapat
yang mengatakan bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat, dan pendapat yang
mengatakan bahwa Al-Quran mu’jiz bi alsharfah - satu sama lain menjadi
pendahulu di dalam memberikan bukti.
Beliau mengatakan: "Al-Quran,
baik ia sendiri merupakan mukjizat atau bukan, adalah mukjizat. Apabila ia
merupakan mukjizat maka ia sudah sampai kepada yang dimaksud. Apabila ia bukan
merupakan mukjizat, bahkan banyak orang yang mampu untuk menentangnya, dan
untuk melakukan hal demikian tidak dipalingkan dan dilarang, maka atas dasar
ini tindakan menandinginya merupakan sesuatu keharusan dan kelaziman. Dengan
ketidakmampuan menandingi tersebut, dengan disertai kemungkinan-kemungkinan,
jelas merupakan pembatal terhadap kebiasaan sehingga ia merupakan
mukjizat."
Sedangkan penulis .Al-Mizan bi
Tafsir Al-Quran berpendapat bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat (mu’jiz
bi dzatih). Beliau mengatakan: "Firman Allah SWT.: 'Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya AlQuran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di
dalamnya,' jelas merupakan bukti bahwa AI-Quran tidak mungkin dapat
ditandingi oleh manusia dengan mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya.
Wujud Al-Quran itu sendiri yang pada lafaz dan maknanya tidak terjadi
pertentangan, itu saja, tidak mungkin dapat ditandingi oleh makhluk untuk
membuat kalam yang tidak dikenai pertentangan di dalamnya. Bukan karena
Allah memalingkan mereka sehingga mereka tidak bisa menandinginya dengan
menunjukkan pertentangan di dalamnya, dan pendapat mereka yang mengatakan
bahwa kemukjizatan AI-Quran itu bi al-sharfah (pemalingan)
merupakan pendapat yang tidak bisa dijadikan sandaran."
Al-Rummani Ali bin Isa, seorang
Mu'tazilah, di dalam bukunya Al-Nukat fi /’jaz Al-Quran, juga
berpendapat mengenai adanya i’jaz balaghi, juga berpendapat bahwa
kemukjizatannya bi al sharfah. Pendapat ini diikuti oleh
Al-Nadhdham AI-Mu'tazili, Hisyam Al-Quthi, dan Ibad bin Sulaiman. AI-Qadhi
Abdut Jabbar Al-Mu'tazili berpendapat bahwa i jaz itu pada kefasihan
Al-Quran. Adapun al-sharfah (pemalingan) merupakan hujjah yang
lazim bagi yang berpendapat demikian.
Yang dimaksud dengan al-sharfah oleh
Mu'tazilah ialah baitwa Allah SWT. memalingkan kehendak mereka untuk menandingi
AI-Quran.
Meieka berpendapat: "Sekiranya
Allah SWT. mengangkat Nabi pada masa kenabian (nubuwwah), dan
mukjizatnya terjadi ketika menggerakkan tangannya, melangkahkan kakinya, atau
sewaktu duduk di antara kaumnya, kemudian dikatakan kepadanya: 'Apa bukti
kebenaranmu?' Beliau menjawab: 'Bukti kebenaranku ialah bisa menggerakkan
tanganku atau menjulurkan kakiku, dan kalian tidak mungkin dapat melakukan
seperti yang telah kulakukan.' Andaikan seluruh kaum badannya dalam keadaan
sehat, sedikit pun anggota badan mereka tidak cacat. Selanjutnya beliau
menggerakkan tangannya atau menjulurkan kakinya, kemudian mereka mulai mau
melakukan seperti yang beliau lakukan, akan tetapi mereka tidak bisa
melakukannya. Semua itu merupakan bukti atas kebenarannya."
Sebenarnya argumentasi mereka yang
berpendapat bahwa Al-Quran merupakan rnukjizat bi al-sharfah (pemalingan)
seperti itu, pada dasarnya adalah mukjizat dengan halangan yang bersifat
eksternal, bukan dari AI-Quran itu sendiri. Halangan eksternal ini bukanlah
pendahulu bagi halangan sejati (al-imtina' al-dzati). Bagi mereka yang
berpendapat demikian, suatu kalam yang paling tinggi dan yang sebaliknya
- dalam balaghah - adalah sama, selama halangan tersebut bersifat
eksternal. Selanjutnya, sekiranya yang memalingkan dari luar Al-Quran sendiri,
maka orang Arab, seperti Musailamah dan yang lainnya, yang berusaha menandingi
Al-Quran, akan gagal dan binasa.
Perlu dijelaskan bahwa antara
mukjizat dan mumtani' ada perbedaan. Sebagaimana telah kami jelaskan
sebelumnya, mukjizat adalah terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi atau
terjadinya sesuatu yang menggugurkan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai
dengan perombakan terhadap adat kebiasaan, dan hal itu sesuai dengan tuntutan.
Adapun mumtani' ialah sesuatu yang pada hakikatnya ia sendiri bersifat
mustahil terjadi, yaitu bahwa ketika akal menggambarkan suatu subtansi mumtani',
pada dasarnya, subtansi tersebut mustahil terwujud. Contoh, menggambarkan
wujud lingkaran yang diameternya lebih besar dari kelilingnya. Pada dasarnya,
ketika akal menggambarkan subtansi tersebut, ia menghukumi bahwa hal itu tidak
akan terwujud, seperti mustahilnya bahwa bagian itu lebih besar dari
keseluruhan, dan mustahilnya dua hal yang kontradiksi bisa bersatu.
Contoh-contoh subtansi di atas, pada dasarnya ia sendiri bersifat mumtani' (mustahil
terwujud). Actapun mukjizat, tidak bersifat mumtani', seperti
membekunya air laut sebagai benteng kepada Musa a.s., atau tidak membakarnya
api kepada Ibrahim a.s. yang menurut kebiasaan api itu membakar. Semua ini
termasuk hukum-hukum alam (alsunan al-kauniyyah) yang telah diciptakan
Allah SWT., hanya saja hukum-hukum alam tersebut tidak mungkin bisa diubah
selain oleh Penciptanya, yaitu Allah SWT, karena seluruh manusia tidak akan
mampu mengubahnya.
Sungguh kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan
pada sunnatullah (hukum alam). (AI-Ahzab: 62)
Apabila seorang Nabi diminta untuk
mendatangkan suatu bukti, maka dengan izin Allah SWT. dia akan mampu mengubah sunnatullah
tersebut, karena pada dasarnya sunnatullah itu bisa berubah, hanya
saja bagi manusia ia bersifat mumtani' (mustahil berubah). Dengan kata
lain, mukjizat itu bersifat mumtani' bagi manusia, akan tetapi dengan
izin Allah SWT. bersifat mungkin bagi Nabi. Sedangkan mumtani' sendiri
pada hakikatnya bersifat mumtani', dan kekuasaan Allah tidak berkaitan
dengan al-muntani'at (hal-hal yang bersifat mumtani'). Al-Quran
sendiri merupakan mukjizat. Artinya, bahwa setiap makhluk mustahil akan mampu
membuat vang serupa dengannya. Sedangkan hubungannya dengan Allah SWT tentu Ia
akan mampu membuat yang serupa dengannya, karena Ia sendiri Mahakuasa atas
segala sesuatu.
Diterjemahkan dari buku aslinya
Min al-I'jaz al-Balaghiy WA al-'Adadiy li al-Qur’an
al-Karim,
karya DR. Abu Zahra' An-Najdiy
terbitan Al-Wakalah AI-'Alamiyyah li At-Tawzi, 1990
Penerjemah: Agus Effendi
Penyunting:
Tim Redaksi Pustaka Hidayah